Filippo Inzaghi, Penyerang Tak Istimewa Yang Melegenda

Suatu waktu, Filippo Inzaghi pernah mengatakan, “Jika Anda tidak terlahir sebagai Ronaldo atau Kaka, Anda masih bisa menjadi pemain hebat melalui komitmen, ketenangan, ketekunan, dan cinta dari apa yang Anda lakukan.”
Inzaghi, yang lahir di Piacenza, Italia, 43 tiga tahun silam, adalah seorang pemain yang bahkan sering membuat penggemarnya sendiri jengkel. Sebagai seorang penyerang dia nyaris tidak memiliki kelebihan yang sedap dipandang mata. Saat membawa bola dia bisa jatuh tanpa sebab, seolah seperti dihempaskan angin dengan tingkat kecepatan yang sebenarnya untuk membelokkan bola golf saja tak mampu. Tendangannya tak keras. Dan menurut Sir Alex Ferguson, Inzaghi juga terlahir dalam posisi offside.


Meski begitu, jika disuruh untuk memilih, penggemar Inzaghi sepertinya lebih senang menjadi jengkel daripada tidak melihat Inzaghi bermain dalam satu pertandingan. Alasannya: Inzaghi tak pernah mengecewakan dalam urusan mencetak gol. Seperti memiliki cheat, kadang ia bahkan bisa menaklukkan seorang penjaga gawang lawan dari posisi yang sulit untuk dinalar.
“Bagaimana dia bisa membalikkan badannya dalam posisi seperti itu?”, “Kenapa dia tiba-tiba bisa ada di situ?”, “Dengan bagian tubuhnya yang mana tadi Inzaghi mencetak gol?”, pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasanya sering muncul setelah Inzaghi berhasil mencetak gol untuk timnya.
Seperti yang pernah dikatakan Inzaghi, meski kritik terus menghajarnya secara bertubi-tubi, Inzaghi selalu senang dengan apa yang bisa dia lakukan. Dia selalu percaya dengan kemampuannya, dan yang paling penting, dia juga mau belajar untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Menyoal kemauan Inzaghi untuk terus belajar, Gennaro Gattuso, mantan rekan Inzaghi di AC Milan pernah menjelaskannya. Gattuso mengatakan, “Inzaghi terbiasa mengumpulkan video tim lawan dan mempelajarinya berhari-hari. Dia tahu segalanya tentang mereka. Dia terobsesi. Banyak yang mengira bahwa Inzaghi hanya beruntung, tetapi itu tidak ada hubungannya dengan keberuntungan – semuanya tergantung pada skill dan persiapan. Dia juga sering marah kepada para pemain sayap jika mereka tidak mengirimkan umpan silang yang tepat di dalam latihan.”

KEHEBATAN YANG TAK TERLIHAT DI ATHENA

Dalam pertandingan final Liga Champions antara AC Milan melawan Liverpool pada tahun 2007 lalu, Marcello Lippi, Arsene Wenger, dan Gerrard Houllier duduk berdekatan di atas tribun Stadion Olimpiade, Athena, tempat digelarnya pertandingan. Seiring dengan berjalannya pertandingan, mereka kemudian membahas berbagai hal yang berhubungan dengan pertandingan tersebut.
Houllier mengatakan, “Gerrard memberikan energi dan dinamisme di lini tengah Liverpool.” Lalu setelah menambahkan bahwa Gerrard tidak membantu Liverpool dalam bertahan, dia melanjutkan, “Andrea Pirlo seperti permata.” Marcello Lippi mengangguk setuju dengan pendapat Houllier tersebut. Sementara itu, Arsene Wenger, yang tampak serius dalam menyaksikan pertandingan itu, seolah tak mau kalah dari Houllier, juga mengungkapkan pendapatnya. Dia mengatakan, “Pertandingan ini adalah pertempuran taktikal.”


Menariknya, pelatih-pelatih tersebut ternyata sama sekali tidak mempunyai pendapat mengenai Filippo Inzaghi, bintang Milan pada pertandingan tersebut. Mereka memilih abai. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas, kehebatan Inzaghi memang sering kali tidak bisa dilihat secara kasat mata, bahkan oleh para pelatih papan atas sekali pun.
Sepintas, gol pertama Inzaghi ke gawang Liverpool malam itu memang terlihat seperti dinaungi oleh keberuntungan. Saat itu, setelah ikut mengganggu pagar betis Liverpool, dia bergerak ke arah depan gawang Liverpool, memastikan dirinya dalam keadaan siap untuk menyambut bola rebound. Namun, tendangan Pirlo justru mengarah kepadanya, mengenai bagian tubuhnya, dan berbelok arah dan membuat Pepe Reina, kiper Liverpool, terkecoh. Lalu, jika itu merupakan sebuah keberuntungan, saat Milan mendapatkan tembakan bebas dari sudut yang sama, mengapa dia selalu berada dalam posisi yang sama dan melakukan pergerakan yang sama?
Jika gol itu kemudian masih perlu diperdebatkan untuk membuktikan kehebatan Inzaghi, gol keduanya jelas-jelas merupakan keahliannya. Dia memang terlahir dalam posisi offside, tetapi dia juga tak mencetak sedikit gol setelah lolos dari posisi offside.


Sebelum Kaka mengirimkan umpan terobosan terukur, Inzaghi sempat melakukan sedikit pergerakan ke belakang untuk mengelabui garis pertahanan Liverpool. Setelah itu, dia kemudian bergerak ke depan untuk menyambut umpan terobosan itu. Pergerakan Inzaghi luput dari perhatian pertahanan Liverpool, Inzaghi berada dalam posisi onside, dan gawang Liverpool kemudian kebobolan untuk kedua kalinya. Karena gol itu, Milan kemudian memang 2-1. Milan berhasil meraih gelar Liga Champions ketujuhnya di sepanjang sejarah, terbaik di antara klub-klub asal Italia lainnya.
Dari 46 golnya yang dicetak di kompetisi Eropa, di mana Inzaghi menjadi penyerang tersubur asal Italia, Inzaghi kemudian menjadikan gol keduanya ke gawang Liverpool itu sebagai gol terbaik yang pernah dicetaknya. Setelah berhasil mencetak 300 gol di sepanjang kariernya pada tahun 2009, dia mengatakan, “Well, saat saya memikirkan tentang semua gol saya, saya pikir yang terbaik terjadi di Athena (gol kedua melawan Liverpool), saya tidak bisa memikirkan gol lainnya.” Dia kemudian menambahkan, “Sudah jelas bahwa gol itu selalu menjadi yang terpenting bagi saya. Mungkin saya sudah pernah mencetak gol yang lebih baik secara teknik, tetapi itu adalah malam saya dan gol itu merupakan gol pertama yang muncul ketika saya berpikir tentang 300 gol yang saya cetak.”
Meski gol terbaik Inzaghi tersebut luput dari pandangan Arsene Wenger, Gerrard Houllier, Arsene Wenger, dan Marcello Lippi, pernyataan Jamie Carragher, salah satu bek Liverpool pada pertandingan itu, bisa menjadi sedikit bukti kehebatan Inzaghi malam itu. Saat itu dia mengatakan, “Golnya di Final Liga Champions 2007 terjadi karena aku terlalu lelah mengamati pergerakannya sehingga perangkap offside yang kami buat tidak sempurna.”

POACHER LEGENDARIS ITALIA
Penyerang yang selalu mengandalkan insting dalam permainannya, seperti Inzaghi, biasanya dikenal dengan istilah poacher. Penyerang semodel ini tidak banyak terlibat saat timnya melakukan buid-up serangan, tidak bisa bertahan, tidak bisa menjadi pemantul, tetapi luar biasa hebat dalam urusan mencetak gol. Asal mampu mencetak gol, seburuk apa pun itu, perannya hanya berhenti sampai di situ.
Seiring berjalannya waktu, penyerang semodel ini kemudian tergerus habis oleh sepakbola modern. Perkembangan taktik menjadi salah satu alasannya, dan peran para penyerang di dalam sepakbola, di mana urusan mereka tidak hanya sebatas mencetak gol saja, menjadi alasan lainnya.

Menariknya, Inzaghi ternyata masih mampu berdiri kokoh sampai usia benar-benar menggerusnya. Ia masih menjadi predator ulung saat false nine kembali muncul untuk mencuri perhatian. Dan pada tahun 2009 lalu, Inzaghi berhasil mencetak gol ketigarastusnya saat defensive forward bersiap untuk mengambil kekuasaan di lini depan tim-tim top asal Eropa. Padahal saat itu dia sudah berusia 36 tahun.
Selain itu, prestasi yang berhasil ditorehkan Inzaghi pun tak main-main. Hampir semua gelar bergensi berhasil diperolehnya. Dia berhasil meraih tiga kali scudetto, satu bersama Juventus dan dua bersama Milan. Dia berhasil meraih dua gelar Liga Champions Eropa, dua-duanya bersama Milan. Dia juga berhasil mempersembahkan gelar Piala Dunia kepada masyarakat Italia pada tahun 2006 lalu. Gelar Coppa Italia dan gelar Piala Dunia antar klub FIFA pun tak luput dari koleksinya.
Saat melatih Inter Milan, Jose Mourinho pernah mengatakan, “AC Milan boleh memasang 11 penyerang tapi jangan Inzaghi, karena dia akan sangat merepotkan kami.” Sebuah pujian yang tentu saja sekaligus dapat membuktikan bahwa Inzaghi adalah salah satu poacher terbaik yang pernah dimiliki oleh Italia.

Comments

Popular posts from this blog

Javier Zanetti, Legenda yang Di Hormati Semua Orang

Terus Melaju Bersama Gattuso

Membenci dan Mencita Ronaldinho