Punahnya Peran "Super-Sub" di Tim-Tim Premier League


Jika melihat para atlet multimiliuner berwajah tampan dan terkenal, perasaan alami yang muncul dalam diri kita biasanya bukanlah rasa simpati, tapi iri. Meski begitu, bahkan para penggemar yang berhati dingin pun seharusnya memiliki rasa kasihan pada Fernando Llorente, ketika melihat Tottenham bermain melawan Bournemouth pada pekan lalu.

Penyerang asal Spanyol ini harus menjalani musim yang sulit dan jarang bermain dalam beberapa pekan terakhir, tetapi ketika Harry Kane mengalami cedera saat laga tersebut berjalan setengah jam, terlihat ada secercah harapan untuknya. Namun, hal yang berbeda justru terjadi: Llorente diabaikan dan yang masuk menggantikan Kane justru Erik Lamela, sementara Son Heung-min digeser menjadi penyerang tengah dan, seperti hendak membenarkan pergantian ini, Son pun mencetak dua gol. Llorente, yang tak dipanggil untuk masuk lapangan, hanya mendapatkan keistimewaan untuk duduk di barisan terdepan.



Kematian para spesialis pengganti


Meski begitu, posisi Llorente jauh dari kata unik: ia hanya contoh paling ekstrem dari tren yang berkembang saat ini. Lihat saja tim-tim Premier League lainnya, dan Anda akan melihat minimnya peran para striker pelapis yang efektif.

Sebuah peran yang dulu dianggap sebagai peran spesialis, yang dimainkan dengan hebat oleh pemain-pemain seperti David Fairclough, Nwankwo Kanu, dan Ole Gunnar Solskjaer, kini menjadi sesuatu yang tak lagi penting. Tiba-tiba, tak ada lagi istilah ‘super-sub’.

Solskjaer selalu berhasil menciptakan rasa takut saat masuk ke lapangan
Di Liverpool, tugas menjadi backup untuk Roberto Firmino menjadi milik bersama Daniel Sturridge (sebelum ia dipinjamkan ke West Ham), Dominic Solanke, dan Danny Ings. Total, trio pemain ini mencatatkan 22 penampilan dari bangku cadangan musim ini, tetapi hanya mampu mencetak satu gol.

Pemain pengganti utama Arsenal untuk lini depan, Danny Welbeck, belum pernah mencetak gol dari posisi sebagai pengganti musim ini, sementara mantan rekan setimnya, Olivier Giroud – yang, harus diakui, merupakan seorang pengganti yang sangat efektif di masanya bersama The Gunners – memilih pindah dari peran pengganti di London utara untuk menjadi peran pengganti di London barat.

Kelechi Iheanacho di Leicester – pemain muda yang eksplosif di kotak penalti yang, secara teori, cocok untuk peran ini – mencetak gol pertamanya untuk The Foxes di pertandingan Premier League terakhir mereka pekan lalu setelah 15 kali percobaan. Javier Hernandez, sang ‘pewaris spiritual’ Solskjaer ketika di Old Trafford dulu, hanya mencetak satu gol dari 10 penampilan dari bangku cadangan musim ini. Bahkan Jermain Defoe, pemain pengganti dengan jumlah gol terbanyak di era Premier League, pun terkena dampak epidemik tren ini: ia mencetak ketiga golnya musim ini saat bermain sebagai starter.

Hanya sedikit pemain yang bisa mempertahankan kesuburan mereka dari status pelapis ini. Peter Crouch, sang spesialis rencana B di Premier League, mencetak ketiga golnya di liga musim ini untuk Stoke dari bangku cadangan. Jumlah delapan gol milik Oumar Niasse adalah cukup banyak bagi seorang pemain yang keluar masuk line-up Everton – tetapi keduanya adalah pengecualian. Jelas, tidak pernah ada masa-masa yang lebih sulit lagi daripada saat ini bagi striker pilihan kedua.

Seolah mengakui tren ini, Jose Mourinho dan Roy Hodgson bahkan mengabaikan sama sekali ide soal striker pelapis di timnya, dan menghilangkan kompetisi untuk posisi terdepan ini. Pemain nomor 9 mereka bisa menikmati kehidupan yang nyaman; bahkan puasa gol pun tak akan memengaruhi posisi mereka di teamsheet. Pep Guardiola menemukan cara lain untuk mengakali masalah ini, dengan menghadirkan kerja sama yang bagus antara Sergio Aguero dan Gabriel Jesus, di mana kedua pemain ini sama-sama tidak berstatus sebagai striker pelapis.

Namun di sebagian besar lainnya, Premier League dipenuhi oleh para penyerang pengganti yang tak bisa bermain efektif – dan tidak sulit melihat alasannya. Untuk bisa sukses dalam peran ini, seorang pemain pelapis harus bisa melampaui kontradiksi yang ada di sepakbola.

Pemain dengan status pelapis ini akan jarang bermain, namun tidak boleh terlihat minim jam terbang. Ia harus memberikan sesuatu yang berbeda dari sang pemain utama, tetapi di tim dengan gaya bermain yang lebih cocok untuk sang pemain utama daripada dirinya. Ia bermain di posisi di mana kepercayaan diri adalah segalanya, tetapi status pemain pelapis memberikan subteks yang akan merusak kepercayaan dirinya: bahwa ia tidak sebagus sang pemain utama.

Manchester United, memenangi UCL 1999 berkat gol dari para super-subnya
Semua ini semakin diperburuk dengan perubahan taktik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, di mana sistem striker tunggal sudah menjadi norma baru. Di era Kanu dkk. menjadi pahlawan dari bangku cadangan, norma yang berlaku adalah memainkan dua penyerang di depan. Dengan lebih banyak kesempatan untuk tampil, usaha pelatih untuk membuat semua penyerangnya tetap dalam kondisi tajam dan bahagia pun jauh lebih mudah. Tim Manchester United yang sukses meraih treble di tahun 1999 adalah tim yang memiliki empat penyerang berkaliber tinggi; kesuksesan mereka di final Liga Champions dipastikan oleh gol-gol dari dua penyerang pelapis mereka.

Namun kemewahan itu sudah lama berlalu. Alih-alih ada empat penyerang yang saling berbagi tugas, tren yang ada saat ini adalah adanya satu penyerang utama yang memonopoli tugas seorang penyerang dan satu atau dua pelapis yang hanya bisa duduk di bench atau tribun sambil berdoa sang pemain utama mendapatkan cedera atau hukuman.

Kualitas yang terpendam di bangku cadangan

Tren formasi satu penyerang saat ini telah membuat para penyerang elit melesat jauh ke level kebintangan lebih tinggi – striker dengan rataan satu gol per pertandingan bukan lagi sesuatu yang hanya ada dalam impian belaka – tetapi juga menyisakan masalah baru. Saat ini, bangku cadangan tim-tim sepakbola tak lagi diisi oleh para pemain yang bisa mengubah keadaan, tetapi sekelompok pemain pelapis yang berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada di masa lalu.

Masalah ini diperburuk dengan keinginan klub-klub untuk menimbun banyak striker dan tak memainkan mereka. Dalam aspek itu, Llorente dan dkk. hanyalah korban dari masalah yang juga pernah dialami oleh Rickie Lambert dan Wilfried Bony. Stamford Bridge adalah tempat yang paling sering melihat kejadian seperti ini, dengan banyaknya penyerang pelapis yang akhirnya tak berguna seperti Mateja Kezman, Claudio Pizarro, atau Loic Remy.

Batshuayi, meledak di Dortmund saat bermain secara reguler
Hal ini terbukti dengan penampilan fantastis Michy Batshuayi sejak ia meninggalkan Chelsea untuk waktu bermain yang lebih besar. Bermain di tim yang tak hanya memainkannya secara reguler tetapi juga beradaptasi dengan kualitasnya, pemain yang terlihat seperti surplus yang tak efektif saat bermain di Premier League bersama tim asal London barat ini tiba-tiba tidak bisa berhenti mencetak gol. Gol kemenangan ke gawang Hannover 96 akhir pekan lalu adalah gol kedelapan Batshuayi dalam 11 pertandingan terakhir untuk Borussia Dortmund.

Sementara di tempat lain, Memphis Depay dan Edin Dzeko total telah mencetak 80 gol sejak melepaskan tugas mereka sebagai pemain pelapis di Manchester; Depay di Lyon, sementara Dzeko di Roma.

Singkatnya, segalanya sebetulnya sangat logis. Bahwa seorang striker bisa mencetak lebih banyak gol jika mereka lebih sering dimainkan, seharusnya bukanlah sebuah kejutan. Tetapi adanya jurang kualitas yang muncul antara para bintang utama dan pelapis mereka, dan kematian peran super-sub, adalah fenomena yang sangat modern.

Saat ini, bermain sebagai pengganti tak lagi menjanjikan kejayaan sebagai pahlawan. Mungkin Llorente hanya perlu bersyukur ia tak perlu membuat kotor sepatunya.

Comments

Popular posts from this blog

Javier Zanetti, Legenda yang Di Hormati Semua Orang

Filippo Inzaghi, Penyerang Tak Istimewa Yang Melegenda

Terus Melaju Bersama Gattuso